Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Sukoharjo (8/10) – Tugu Kartasura merupakan tempat diselenggarakannya Aksi Soloraya Menggugat. Aksi tersebut digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Soloraya, yang merupakan lanjutan dari Aksi Sebelas Maret Menggugat pada Selasa lalu (6/10). Pada pukul 14.00 WIB, peserta aksi yang menggunakan atribut jas almamater masing-masing mulai berjalan dari berbagai penjuru menuju Tugu Kartasura. Selain para peserta aksi yang berjalan kaki, terdapat juga mobil komando aksi yang dikendarai oleh para orator aksi. Mereka pada akhirnya sampai di tujuan, yang mana ribuan polisi terlihat telah mengamankan tempat di sekitar Tugu Kartasura.

Para peserta aksi terlihat mendesak para polisi agar dapat maju mendekati Tugu Kartasura. Para polisi pun menyingkir sampai pada akhirnya massa aksi berhasil menduduki Tugu Kartasura. Peserta aksi juga bersorak sorai untuk memberikan jalan untuk mobil komando. Muhammad Zainal Arifin selaku Presiden BEM UNS 2020 yang berdiri di atas mobil komando pun membuka jalannya aksi.

“Kita dari aliansi mahasiswa, kita dari aliansi buruh, kita dari aliansi pelajar. Kita dari semua aliansi, kawan-kawan, (yaitu) dari aliansi rakyat Indonesia!” seru Arifin lantang diiringi hujan yang mulai mengguyur Kartasura. “Maka dari itu, izinkan kami selaku rakyat Indonesia, selaku warga Kota Surakarta Soloraya menyampaikan sikap, (yaitu) mosi tidak percaya. Mosi tidak percaya kepada siapa, kawan-kawan? DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang seharusnya dewan pewakil rakyat, (tetapi) mereka bukan, kawan-kawan. (Mereka adalah) Dewan Pengkhianat Rakyat!” lanjutnya dengan iringan sorak sorai para peserta aksi yang menyetujui pernyataannya.

Pada pertengahan orasi Arifin, Reporter NOVUM mencoba mewawancarai polisi yang berseragam lengkap dengan tameng huru-hara Brimob. Saat kami tanyakan perihal apakah dapat menjamin keamanan dan tidak bertindak represif, polisi tersebut menolak diwawancarai dan mencoba menyingkirkan ponsel Reporter NOVUM dari wajah mereka.

Reporter NOVUM saat mencoba mewawancarai Polisi Brimob yang menolak untuk diwawancara
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Walau hujan yang turun semakin deras, para peserta aksi tidak bergeming dari tempat yang mereka pijak. Arifin melanjutkan orasinya sembari menjelaskan mengapa aksi dilakukan di Tugu Kartasura. “Semesta (yang turun hujan) pun memberkati perjuangan Soloraya Menggugat Omnibus Law. Maka teman-teman, sebelum kita menyatakan sikap Soloraya Menggugat atas pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, saya ingin menyampaikan kenapa aksi kita tidak (dilakukan) di (gedung) DPRD Solo (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Solo). Karena kita sepakat kita telah mosi tidak percaya kepada Dewan Perwakilan Rakyat,” jelasnya.

Potret jalannya aksi saat hujan deras
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Arifin lalu menyatakan Tugu Kartasura menjadi bukti sejarah bahwa tanggal 8 Oktober 2020 Soloraya Menggugat atas negara yang menyelewengkan rakyat. “Ini adalah rilis sikap Soloraya Menggugat. Pada tanggal 8 Oktober 2020, sejarah mencatat perselingkuhan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah (yang) mengesahkan RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang menyengsarakan rakyat. Rakyat akan selalu ingat bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja yang sangat menguntungkan pebisnis dan oligarki telah merampas hak dan kemerdekaan rakyat,” ujarnya.

Kemudian, Arifin mulai membacakan gugatan Soloraya Menggugat yang intinya sama dengan gugatan Aksi Sebelas Maret Menggugat, dengan adanya tambahan untuk membebaskan rekan perjuangan mereka bernama Faqih yang ditahan pada saat Hari Aksi Tani. Aksi pun berlanjut dengan penyampaian orasi dari perwakilan BEM universitas se-Soloraya.

Reporter NOVUM pun kemudian mencoba mewawancarai kembali salah satu polisi yang terlihat membawa walkie-talkie dan mengawasi keadaan. Saat ditanyai mengenai apakah pihak kepolisian dapat menjamin tidak adanya tindakan represif, Kapolres AKBP Bambang Yugo Pamungkas hanya mengatakan, “Tergantung situasi. Kalau situasi kondusif, ya tidak (akan represif).”

Pada pertengahan orasi yang selalu disambut sorak sorai, ‘Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia’, terdapat beberapa massa aksi yang membawa banner besar yang intinya berisi tentang protes kepada DPR. Banner aksi tersebut hendak dipasang pada fasilitas umum tempat banner berukuan besar di dekat Kantor Bank Rakyat Indonesia Kartasura. Keadaan sempat sedikit ricuh saat itu. Terlihat para polisi mengamankan keadaan. Salah satu polisi mengatakan, “Jangan, jangan dipasang, (banner-nya), yo.” Akhirnya massa aksi yang sudah berkumpul di depan tempat banner, bahkan ada yang sudah bersiap-siap di atas pun mengurungkan niat dan segera melipat banner tersebut kembali.

Pengamanan oleh polisi terkait pemasangan banner secara paksa
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Setelah keadaan cukup kondusif, orasi masih terus berlanjut. Selain mahasiswa, terdapat perwakilan buruh dan pedagang kecil yang turut menyampaikan aspirasi di atas mobil komando. “Kami dari pedagang kecil Surakarta mengatakan bahwa dari peraturan tentang corona kemarin sangat terasa sekali dampaknya, apalagi kalau Undang-Undang Omnibus Law ini disahkan. Maka semakin menderita rakyat-rakyat kecil,” ujar salah satu perwakilan pedagang Surakarta. “Dan kita sebagai rakyat Indonesia harus bertahan sampai undang-undang itu (Omnibus Law) dibatalkan,” lanjutnya lantang disambut dengan lolongan persetujuan dan riuh tepuk tangan dari peserta aksi.

Kemudian orasi diambil alih kembali oleh salah satu perwakilan mahasiswa dari Soloraya Menggugat. Mereka menginstruksikan para peserta aksi untuk menyanyikan lagu “Ibu Pertiwi” dan “Indonesia Raya” sembari menurunkan bendera merah putih di atas mobil komando menjadi setengah tiang.

Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Aksi yang berjalan dengan cukup damai ini pun mulai memanas karena teriakan yang mengandung kata-kata provokasi oleh massa aksi tanpa atribut. Mereka juga terlihat membawa banner aksi yang sebelumnya telah dirapikan dengan cara berkeliling memasuki rombongan massa aksi lain. Berkali-kali pihak Aksi Soloraya Menggugat mengingatkan massa aksi untuk hati-hati agar tidak terprovokasi. “Kita datang dengan damai, pulang pun juga harus damai,” seru salah satu pihak Soloraya Menggugat dengan toanya.

Kericuhan pun akhirnya dipancing menjelang waktu Maghrib. Massa aksi tanpa atribut justru mencoba memasang banner aksi tersebut ke tempat banner. Para polisi telah melarang pemasangan banner aksi sebelumnya. Keadaan mulai memanas karena kenekatan para massa aksi yang tidak diketahui identitasnya tersebut.

Lagi-lagi para pihak Aksi Soloraya Menggugat mengingatkan agar tidak terpancing dan tetap tenang. “Kawan-kawan, harap tenang, tenang. Setelah ini akan ada orasi lagi. Tetap tenang. Bapak Polisi, insya Allah (kami melakukan aksi dengan damai),” ujar para pihak Soloraya Menggugat dari atas mobil komando dengan lantang.

Pemasangan banner aksi secara paksa oleh massa aksi tanpa atribut
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Namun, massa tanpa atribut tetap berteriak mengucapkan kata-kata kasar dan mulai melempar barang-barang seperti botol bekas dan yang lainnya ke arah rombongan polisi. Polisi Brimob segera berlindung di balik tameng huru-haranya dan membalas dengan menembakkan gas air mata dari segala penjuru. Penembakan gas air mata tersebut menyebabkan Tugu Kartasura dan sekitarnya dipenuhi asap.

Reporter NOVUM yang mendokumentasi kejadian tersebut pun turut terkena dampak gas air mata. Para koor lapangan Aksi Soloraya Menggugat segera mengevakuasi para peserta aksi yang mengenakan atribut dari lokasi kejadian. Sesampainya di salah satu tempat evakuasi, peserta aksi dan juga Reporter NOVUM diberi pertolongan pertama oleh para Tim Medis.

Salah satu peserta aksi yang berasal dari Universitas Muhammadiyah Surakarta bernama Fidheaty Octa Rahayu yang kami wawancarai mengatakan bahwa Fidheaty terkena gas air mata tepat di depan matanya. “Kami itu terakhir larinya. Di depan orang (yang) lempar gas air mata (persis). Sampai kami jatuh, jilbabku juga sampai lepas karena ditarik-tarik,” ujarnya.

Fidheaty juga mengatakan bahwa ini merupakan pengalaman pertamanya mengikuti aksi. Alasannya adalah karena Omnibus Law ia nilai merupakan suatu hal yang darurat, sehingga Fidheaty memberanikan ikut aksi. “Iya, soalnya (Omnibus Law) mengkhawatirkan, sih. Kayak nggak pas kalau dipakai sekarang. Apalagi disahkan waktu masa-masa pandemi ini. Seharusnya kita khusus mengurusi corona ini, tapi malah dialihkan ke hal lain,” terangnya,

Pasca aksi yang berlangsung ricuh tersebut, ternyata belum selesai sampai di situ. Terlihat adanya pembakaran truk Satpol PP di lokasi kericuhan. Jalan di sekitar Tugu Kartasura juga masih dalam tahap pengamanan para aparat. Kondisi belum kondusif karena para peserta aksi ada yang kembali ke Tugu Kartasura untuk melihat keadaan. Sirine ambulans berbunyi memecah malam di sekitar Tugu Kartasura, mencari dan membopong peserta aksi yang terluka akibat kericuhan.

Pembakaran truk Satpol PP
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Reporter NOVUM kemudian mewawancarai salah satu warga di sekitar Tugu Kartasura bernama Bayu untuk menyatakan pendapatnya terkait aksi tersebut. “Sebenarnya saya setuju ada aksi, namun dengan catatan harus sesuai dengan aturan yang ada,” tuturnya. Bayu juga mengatakan bahwa jika aksi belum selesai hingga menjelang malam seperti ini, maka mengganggu ketenteraman warga sekitar.

Sejalan dengan Bayu, Mastuti yang juga salah seorang warga sekitar pun memberi tanggapan bahwa Mastuti setuju dengan adanya aksi oleh mahasiswa tersebut. Mastuti juga  berpendapat bahwa aksi yang berakhir ricuh dikarenakan ada penyusup pada massa aksi. “Lha iya, ricuh karena ada provokator pasti. Kalau ndak ada, pasti ndak (berakhir) begini. Mahasiswa kan, demonya damai,” ujarnya.

Mastuti turut mengutarakan kekecewaannya terhadap pemerintah yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Omnibus Law. “Dalam keadaan (pandemi) begini, mestinya pemerintah ndak begitu (mengesahkan RUU Cipta Kerja Omnibus Law). Pandemi, ekonomi begini, kasihan rakyat kecil,” tutur Mastuti.

Reporter NOVUM masih memantau keadaan pasca aksi. Tembakan gas air mata tidak hanya dilakukan sekali, tetapi sampai tiga kali. Gas air mata yang ketiga ditembakkan menjelang waktu Isya’. Asap dari gas air mata tersebut mengepul hingga permukiman warga. Beberapa warga pun terkena imbasnya dan mengeluh bahwa gas air mata tersebut menyebabkan kedua mata mereka perih.

Kemudian, Reporter NOVUM mendatangi Arifin selepas keadaan penembakan gas air mata ketiga. Arifin mengungkapkan tanggapannya terkait aksi yang merupakan lanjutan dari Sebelas Maret Menggugat tersebut, “Aslinya itu berjalan aman, ya. Itu 10 menit kira-kira mau ditutup (aksinya). Mungkin banyak penyusup dan SOP yang digunakan polisi itu langsung main kasar. Jadi langsung menembakkan gas air mata. Seharusnya itu ada negosiasi dulu lah kalau sampai terjadi seperti itu. Kita mengecam keras aparat yang seperti itu (menembakkan gas air mata).”

Selain itu, Arifin juga mengkonfirmasi bahwa pihak BEM UNS tidak terlibat sama sekali dengan pembuatan dan pemasangan banner aksi protes terhadap DPR. “Bukan, bukan dari kami,” akunya. Arifin berharap bahwa Presiden dan DPR bisa mendengar semua aksi dari segala daerah. “Karena kan hari ini aksi di berbagai wilayah. Jakarta juga chaos tadi, di sini pun chaos. Di mana-mana chaos karena tuntutannya sama, yaitu membatalkan Omnibus Law lewat Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Kalau Presiden mendengar, ya sudah keluarkan Perppu itu,” tutup Arifin. (Bidari Aufa/Diva Lufiana)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *