Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

SOLO (6/10) – Sore hari pada pukul 16.00 WIB, boulevard Universitas Sebelas Maret (UNS) dijejali para mahasiswa yang mengenakan jas almamater berwarna telur asin. Kumpulan mahasiswa tersebut melakukan aksi yang diberi nama Sebelas Maret Menggugat sebagai buntut dari peristiwa disahkannya Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada Selasa (5/10). Aksi Sebelas Maret Menggugat diprakarsai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UNS 2020 (BEM UNS 2020) yang menyerukan ajakan aksi melalui media sosial sebagai ungkapan kekecewaan disahkannya RUU Cipta Kerja.

Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Hal tersebut disampaikan oleh Wahid Mu’tashim selaku Menteri Koordinator Pengetahuan dan Pergerakan Badan Eksekutif Mahasiswa UNS 2020 (BEM UNS 2020). “(Aksi ini) sebagai ungkapan kekecewaan kita sebagai mahasiswa UNS terhadap ulah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), khususnya yang sudah mengesahkan daripada RUU Cipta Kerja ini. Karena kan, secara diam-diam ya, malam-malam. Setelah itu disahkan lagi pada hari berikutnya, sore-sore. Dan undangannya sangat mendadak. Kita di elemen mahasiswa (dan) rakyat yang sudah siap bergerak di tanggal 8 (Oktober) yang seharusnya sidang paripurna, tapi kita (malah) dikelabui lagi. Kita sebagai masyarakat kecewa terhadap itu,” jelas Wahid.

Sejalan dengan pernyataan Wahid, Presiden BEM Fakultas Pertanian UNS 2020 Daffa Maulana, yang juga berperan sebagai Hubungan dan Masyarakat (Humas) Sebelas Maret Menggugat menyatakan bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja terburu-buru dan yang hadir dalam sidang paripurna saat itu patut dipertanyakan. “Dampaknya sangat banyak, khususnya bagi pekerja. (Hal) itu menjadikan faktor yang bakal krusial. Karena prosesnya sebagai mahasiswa, nantinya sama-sama akan memasuki dunia kerja. Ini akan menjadi tanggung jawab kita pula nantinya,” lanjut Daffa.

Aksi dimulai dengan sambutan Presiden BEM UNS 2020 Muhammad Zainal Arifin. “Ada yang meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi roji’un telah matinya hati nurani Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan para pemerintah yang telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja,” ujarnya dengan lantang.

Arifin melanjutkan bahwa negara, baik eksekutif maupun legislatif tidak berpihak terhadap nasib rakyat di tengah pandemi Covid-19 dan menilai bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja sangat terburu-buru. “Pemerintah dan DPR-RI telah membawa mundur bangsa Indonesia ke dalam jurang imperialisme dan neo-liberalisme, dibuktikan dengan pengesahan RUU Cipta Kerja yang tidak mengedepankan aspek akuntabilitas dan transparansi pada publik,” lanjutnya.

Arifin sebagai wakil mahasiswa yang membacakan gugatan
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Kemudian Arifin mulai membacakan gugatan aksi yang memuat empat poin. Poin pertama, mosi tidak percaya kepada DPR-RI dan Presiden Joko Widodo yang telah berkhianat kepada rakyat dan konstitusi dengan bersikeras mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja di saat rakyat dilanda kesusahan besar akibat pandemi Covid-19. Kedua, mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera membatalkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Ketiga, mengecam keras kepada pemerintah dan aparat keamanan yang sering bertindak represif dan kriminalisasi oleh rakyat dan kepada rakyat dalam upaya penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Keempat, mengajak segenap rakyat Indonesia yang cinta akan kemerdekaan untuk tidak pernah berhenti menyuarakan mosi tidak percaya dan melakukan perlawanan sampai UU Omnibus Law Cipta Kerja dibatalkan.

Kemudian, Arifin menegaskan ulang bahwa mahasiswa UNS menyatakan mosi tidak percaya kepada Presiden Joko Widodo dan DPR-RI. “Jegal sampai gagal, batalkan Omnibus Law, mosi tidak percaya. Surakarta, 6 Oktober 2020, atas nama Sebelas Maret Menggugat,” seru Arifin dengan diiringi sorak sorai para peserta aksi yang menyerukan slogan ‘Hidup Mahasiswa’.

Selepas orasi, Arifin memimpin pembacaan sumpah mahasiswa yang diikuti oleh para peserta aksi. Kemudian para peserta aksi dengan lantang menyanyikan lagu “Mars Mahasiswa”, lalu mereka membentuk setengah lingkaran besar sesuai instruksi pihak BEM UNS guna membuat panggung untuk aksi selanjutnya. Pihak BEM UNS juga mengingatkan untuk senantiasa melakukan physical distancing. Selain Arifin, terdapat orasi dari berbagai perwakilan mahasiswa UNS.

Orasi-orasi yang disambut sorak sorai ‘Hidup mahasiwa, hidup rakyat Indonesia’ pun dilanjutkan dengan aksi teatrikal oleh berbagai elemen mahasiswa UNS. Teatrikal pada sore itu meliputi musikalisasi puisi serta peragaan proses disahkannya RUU Cipta Kerja oleh Ketua DPR-RI. Peragaan tersebut menilik dugaan bahwa Ketua DPR-RI Puan Maharani mematikan mikrofon saat rekan DPR-RI lain menyanggah pernyataannya pada sidang paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. Selain itu juga terdapat peragaan buruh dan rakyat yang protes namun tidak didengar dan malah ditindak secara represif.

Salah satu aksi teatrikal
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM
Kumpulan tulisan protes peserta aksi terhadap DPR dan Pemerintah
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Kemudian masih terdapat aksi lakon selanjutnya, yaitu wakil rakyat yang ditutup mata dan telinganya sembari memegang papan bertuliskan, “Aku tidak bisa melihatmu walau aku wakilmu. DPR-RI.” Selain aksi teatrikal, pihak dari BEM Universitas Negeri Semarang yang turut hadir dalam Sebelas Maret Menggugat juga tidak ketinggalan untuk meramaikan aksi dengan orasi singkatnya.

Menjelang waktu maghrib, Reporter NOVUM mendapati bahwa terdapat aparat orang-orang berseragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan polisi. Mereka terlihat mengawasi keadaan di belakang kumpulan jurnalis dari berbagai media. Sebagian kecil dari mereka, dalam hal ini TNI AD terlihat memutari panggung aksi.

Reporter NOVUM mencoba mewawancarai polisi dan TNI AD tersebut. Namun, mereka menolak untuk memberikan pendapat. Bahkan Kapten Infanteri Paidi selaku Komandan Rayon Militer (Danramil) Jebres hanya mengatakan bahwa Paidi tidak mengetahui apa-apa perihal aksi tersebut. “Saya lihat ramai di sini. Ini kan wilayah saya, jadi sewaktu saya di Koramil saya mendengar ramai-ramai. Ramai-ramai ada apa?” ujarnya.

Reporter NOVUM saat mencoba mewawancarai TNI-AD
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Dikarenakan tidak mendapat jawaban apapun dari pihak aparat, reporter NOVUM memutuskan untuk mewawancarai salah satu peserta aksi yang tidak tergabung dalam BEM. Ayuk Sofika Zaroh, mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS angkatan 2020 mengatakan bahwa sebagai mahasiswa tidak bisa diam saja dalam menghadapi pengesahan RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan banyak pihak. “Negara sedang menghadapi Covid-19, tetapi pemerintah malah mengesahkan RUU Cipta Kerja,” ucap Ayuk.

Selain dari kalangan mahasiswa, perihal pengesahan RUU Cipta Kerja ini juga tak luput dari perhatian para akademisi. Salah satunya adalah Wasis Sugandha, S.H., M.H., dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UNS yang ditemui reporter NOVUM selepas aksi melalui video konferensi Google Meet.

Wasis mengatakan bahwa tujuan pemerintah mengesahkan RUU Cipta Kerja bertolak belakang dengan rasa keadilan masyarakat. “Di satu sisi pemerintah menginginkan investasi itu mudah. Termasuk tenaga kerja asing, supaya tidak ribet perizinan, dengan beban-bebannya. Tetapi kebijakan ini sangat tidak sesuai dengan keadilan, (dalam hal ini) keadilan masyarakat. Kita lihat suara masyarakat seperti apa dalam menanggapi, dalam merespon. Banyak yang menolak. Itu artinya keadilan masyarakat dipertanyakan,” tutur Wasis.

Menjelang akhir aksi, perwakilan dari Program Studi Seni Rupa UNS menampilkan teatrikal rakyat yang dijajah oleh elit negara. Dalam teatrikal tersebut dilengkapi dengan taburan bunga mawar dan melati yang menunjukkan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah wafat. Kemudain aksi teatrikal tersebut ditutup dengan nyanyian lagu “Darah Juang” diiringi dengan lampu ponsel oleh seluruh peserta aksi.

Aksi teatrikal rakyat yang dijajah elit negara dengan taburan bunga
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Daffa mengharapkan adanya tindak lanjut dari DPR-RI terkait aksi Sebelas Maret Menggugat. Selaras dengan Daffa, Ayuk berharap agar DPR lebih bisa menghargai kita sebagai rakyat, bukan malah menindas. “Dulu waktu belum menjabat, (DPR) meminta suara kepada kita. Tetapi setelah menjabat malah menindas kita,” lanjut Ayuk.

Potret para peserta aksi yang menyanyikan Darah Juang disertai lampu ponsel mereka
Foto oleh: Akbar Rosyad/NOVUM

Selain itu, Wahid menjelaskan aksi ini hanya sebagai pemanasan saja. “(Aksi ini) bahasannya sebagai pemanasan, nanti akan ada gerakan-gerakan yang lebih luas lagi. Insya Allah kita akan bangun bersama kawan-kawan (BEM) Soloraya,” tutupnya. (Bidari Aufa/Diva Lufiana)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *