Menanggapi beberapa pasal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dianggap kontroversial, mahasiswa se-Solo Raya menggelar aksi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surakarta. Mahasiswa yang terlibat antara lain berasal dari aliansi #BengawanMelawan dan Komite Aksi Mahasiswa Perjuangan Tani (KAMRAT). Aksi yang dilakukan ini dalam rangka menuntut penolakan terhadap sejumlah pasal pada Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. RUU yang dimaksud antara lain RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan. Selain itu, massa juga menuntut dicabutnya UU KPK yang belum lama ini telah disahkan oleh pemerintah.

Seperti yang diungkapkan oleh Idialis Sittus Pratama, selaku Penanggung Jawab Fakultas Hukum (FH) UNS dalam Aksi Bengawan Melawan, keadaan Indonesia yang tidak baik-baik saja membuat dia dan kawan-kawan resah. Menurut Idialis, dalam UU KPK terdapat beberapa pasal yang menjadi keresahan, seperti staff KPK yang diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, staf KPK yang sebelumnya merupakan pihak independen berubah posisinya menjadi tidak independen karena dapat dipengaruhi beberapa pihak. Selain itu, Idialis juga menambahkan mengenai adanya dewan pengawas yang dipilih DPR dan memiliki tupoksi untuk memberikan izin penyadapan dan pengawasan atas kinerja KPK.

Para pengunjuk rasa berkumpul di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surakarta. Foto oleh Akbar Rosyad/NOVUM

 

Selain mengangkat isu terkait UU KPK, mahasiswa juga menganggap bahwa beberapa pasal dalam RKUHP itu dinilai tidak tepat. Yusuf Arifin, mahasiswa FH UNS menganggap dalam RKUHP ini terdapat banyak pasal yang kontroversial, “Banyak sekali dari Pasal 67, 99, 100, 101, tentang pengaduan makar, kriminalisasi tindak pidana, penghinaan. Tentang penghinaan ini menurut saya sangat menarik. Ini merupakan pasal atau aturan yang merupakan warisan dari kolonial. Jadi hal ini sudah diputus oleh MK dan dikubur selamanya pada tahun 2006. Tetapi kali ini pemerintah beserta DPR mengembalikan lagi pasal ini, pasal penghinaan terhadap presiden. Ini sangat meresahkan, ya disini tidak relevan aja karena sudah dibatalkan oleh MK pada tahun 2006. Penghinaan terhadap Presiden itu sangat luas artinya, takutnya ini dapat mengekang kebebasan berpendapat kita dan kebebasan berekspresi.”

Di samping itu, Ketua DPC Gerindra Solo, Ardianto Kuswinarno, S.H. menyepakati  dan turut mendukung tuntutan mahasiswa yang berunjuk rasa ke kantor DPRD Surakarta, “Kalau secara pribadi saya sepakat, adik-adik mahasiswa itu demo sepakat. Karena apa yang disampaikan itu menuntut kebenaran. Perbaikan apa yang selama ini sudah mau diciptakan oleh rekan-rekan DPR RI, menurut saya sebagai DPRD dan orang hukum itu terlalu banyak cacat hukumnya. Jadi wajar kalau seluruh Indonesia, adik-adik mahasiswa bergerak menyuarakan kebenaran, saya sepakat tidak ada masalah.”

 

Para mahasiswa membawa sejumlah poster dan spanduk dalam Aksi Bengawan Melawan. Foto oleh Akbar Rosyad/NOVUM

Ketika hari semakin siang, kerumunan mahasiswa tersebut semakin mencoba untuk masuk ke dalam area DPRD Surakarta. Beberapa mahasiswa yang dianggap sebagai biang kerusuhan ditangkap oleh polisi yang bersiaga di dalam. AKBP Andy Rifai, selaku Kapolresta Surakarta berpendapat, “Selama disini kita berupaya komunikatif dengan mahasiswa, kita berupaya untuk menyampaikan apa kemauan mereka kepada pihak dari dewan seperti itu. Tapi dari tadi kita upayakan tidak ada titik temu. Kita dari aparat kepolisian melihat dari segi keamanannya. Sedangkan tadi dari pihak mahasiswa menginginkan agar semuanya masuk. Kita lihat kapasitasnya kan tidak memenuhi tidak memungkinkan untuk masuk semuanya. Kita minta perwakilan tapi dia tidak mengindahkan.”

Karena merasa permintaanya untuk masuk kedalam area DPRD tidak dipenuhi, massa aksi pun mendorong pintu gerbang depan. Polisi yang bersiaga dengan membawa tembakan gas air mata pun langsung menembaki massa dengan gas air mata hingga massa berlarian mengamankan diri dan menjauh dari area kantor DPRD Surakarta. Setelah kejadian tersebut, satu per satu mahasiswa yang ikut aksi pun membubarkan diri dan kembali ke kampusnya masing-masing.

Melalui aksi yang berakhir ricuh ini Idialis berharap, “Semoga dengan pressure sebesar ini DPR sadar mereka sebagai wakil rakyat, rakyatnya merasa tidak terwakilkan. Misal DPR emang enggak bisa melakukan apa-apa, semoga presiden kita yang katanya down to earth atau mengayomi bisa lebih memahami dan bisa mengeluarkan kebijakan yang membantu rakyatnya.” (Chiara Sabrina Ayurani/Fatma Fitrianuari F)

Foto oleh Akbar Rosyad/NOVUM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *