Foto oleh: Dias Rahmadanti/NOVUM

SOLO (30/9) – Aksi yang diprakarsai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Sebelas Maret (UNS) ini diberi nama Aksi September Hitam “Bayang Kelam Keadilan HAM”. Para mahasiswa dengan pakaian serba hitam berkumpul di boulevard UNS sejak pukul 15.30 WIB. Mereka juga membawa properti pendukung aksi, seperti spanduk, figura berisikan foto, dan poster-poster.

Sesuai dengan namanya, substansi utama pada aksi ini adalah tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang banyak diabaikan bahkan banyak kasus yang dilupakan. Meskipun aksi ini bertepatan dengan hari besar G-30S/PKI, namun inti dari aksi ini tidak berkutat pada hari besar itu saja. Seperti yang dikatakan oleh Pratekwo Kurnia Aji, anggota BEM Fakultas Pertanian yang juga menjadi salah satu orator pada aksi ini. “Peingatan G-30S/PKI merupakan tanggal momentumnya, tapi (substansi aksi) lebih dari itu banyak masalah HAM yang belum terselesaikan. Padahal itu janji-janji presiden, tapi masih begitu tidak jelas untuk permaslahan HAM ini,” ujar Pratekwo.

Beberapa kasus-kasus HAM yang disampaikan dalam aksi ini adalah tragedi kematian Munir, tragedi Semanggi II, tragedi pembunuhan Salim Kancil, dan juga kasus-kasus yang masih marak terjadi yaitu represi aksi para mahasiswa. Aksi ini juga menitikberatkan pada pemecatan 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipecat karena tidak lolos dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Bertepatan dengan hari diadakannya aksi, tanggal 30 September 2021 juga merupakan hari terakhir 57 pegawai yang dipecat berstatus sebagai pegawai aktif di KPK.

Foto oleh: Dias Rahmadanti/NOVUM

Gazalba Imaduddin Sholeh, mahasiswa UNS yang mengikuti aksi pun menyampaikan pendapatnya terkait pemecatan 57 pegawai KPK. “Tanggal 30 September merupakan tanggal pemecatan 57 pegawai KPK, kami merasa terdapat pelanggaran HAM disana yang mana terdapat justifikasi bahwa seolah-olah yang tidak lolos TWK termasuk tidak nasionalis,” ujarnya.

Pratekwo juga menceritakan bagaimana saat ia bertemu dengan salah satu dari 57 pegawai KPK yang dipecat. Ia menceritakan bahwa setelah pegawai tersebut dipecat dari KPK, ia mendapat tawaran untuk bekerja pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan juga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), yang mana berarti pemecatan dari KPK bukan soal tidak lolos tes TWK.  “Itu jelas menyatakan bahwa, mereka 57 pegawai itu disingkirkan bukan karena TWKnya tapi karena mereka “mengantar” para koruptor yang sekarang sedang beredar,” tutur Pratekwo.

Foto oleh: Dias Rahmadanti/NOVUM

Aksi yang berjalan dengan damai dan lancar ini memiliki beberapa tujuan baik untuk sesama mahasiswa, masyarakat Indonesia, maupun pemerintah. “(Harapannya) supaya mahasiswa tau dan sadar bahwa isu HAM banyak yang belum selesai terutama isu KPK. Dan juga agar bisa tersampaikan ke media-media dan masyarakat luas serta bisa menjadi dukungan moral kepada para keluarga yang dilanggar HAMnya dan juga para pegawai KPK,” tutur Pratekwo.

 Gazalba pun turut menyampaikan harapannya, “Semakin besar Indonesia (harapannya) semakin matang demokrasi kita, dan semakin mudah kita menyampaikan aspirasi. Semakin mudah pula bagi kita untuk meralat para pejabat-pejabat kita yang tadinya bermasalah. Yang paling utama demokrasi kita harus semakin baik,” ujarnya. (Dias Rahmadanti/Nur Alifi W.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *