
SOLO (28/10) – Aksi Solidaritas Perjuangan Rakyat Tertindas diadakan di Ngarsopuro, Surakarta. Diawali dengan perjalanan menyusuri Jalan Diponegoro, massa lalu berhenti di perempatan restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC). Kemudian massa membentuk lingkaran guna mengondisikan kerumunan. Unjuk rasa dibuka dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan dilanjutkan dengan orasi dari perwakilan elemen yang tergabung dalam aksi tersebut. “Kami di sini hanya ingin berorasi, tidak mau berbuat anarkis!” tegas Sigit selaku perwakilan dari organisasi eksternal Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI).
Gerakan unjuk rasa yang semula direncanakan pukul 13.00 WIB pada kenyataannya baru terlaksana sekitar pukul 15.30 WIB. “Hal ini dikarenakan menunggu massa aksi dari DSKS (Dewan Syariah Kota Surakarta) yang juga dilaksanakan di Gladak. Kan ada dua demo hari ini, jadi biar tidak kecampur atau bertemu massa aksinya,” jelas Rifqi selaku perwakilan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Berbeda dengan sebelumnya, aksi ini didominasi oleh berbagai organisasi eksternal kampus. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kliwon selaku narahubung aksi, “Dari konsolidasi terakhir ada sekitar 350 perserta, (yang terdiri) dari unsur organisasi ekstra mahasiswa, yaitu ada dari HMI, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), dan PMII. (Sementara) organisasi intra ada BEM UNS (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret) dan BEM Soloraya. Tapi kami juga membuka partisipasi dari ruang publik gerakan sipil, (jadi) kami tetap mengakomodir.”

Foto oleh: Samuel Bintang/NOVUM
Walaupun sempat diguyur hujan, massa tidak padam untuk menyampaikan aspirasinya. Tuntutan aksi yang digaungkan berjumlah lima poin. Poin pertama, menekankan agar pemerintah mencabut Undang-Undang Cipta Kerja. Kedua, agar pemerintah membuka ruang demokrasi seluas-luasnya dan segera usut tuntas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Ketiga, menuntut pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat. Keempat, segera masukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2021. Kelima, mengecam keras tindakan represif dan kriminalisasi aktivis oleh aparat dan pemerintahan serta segera bebaskan Faqih, Calvin, dan Hasan (kawan aktivis).
Tuntutan tersebut selaras dengan pernyataan Rifqi. “Kalau dari kita sendiri PMII, seluruh Indonesia jelas dengan tegas menolak adanya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law ini karena dirasa memang sangat merugikan rakyat Indonesia dari berbagai macam klaster atau sektor,” paparnya.

Foto oleh: Samuel Bintang/NOVUM
Lingkaran aksi terlihat dikelilingi oleh barisan polisi yang bertugas untuk mengamankan situasi dan kondisi. Reporter NOVUM kemudian berhasil mewawancarai Kepala Bagian Ops Polresta Surakarta Kompol (Komisaris Polisi) Sukarda. Terkait pemberitahuan akan adanya aksi, Kompol Sukarda pun membuka suara, “Ada pemberitahuan (akan ada aksi), tapi mendadak baru tadi pagi kayaknya. Tapi sebelumnya sudah ada komunikasi kalau mereka akan melakukan aksi, (maka) tentunya kami mempersiapkan personil (untuk mengamankan).” Kompol Sukarda juga menegaskan pada prinsipnya polisi akan selalu mengamankan kegiatan semacam ini agar tidak ditunggangi atau disusupi oleh orang-orang di luar yang membuat tujuannya tidak tercapai.

Foto oleh: Samuel Bintang/NOVUM
Pihak aparat juga berharap agar massa senantiasa melaksanakan protokol kesehatan di tiap aksi, mulai dari menggunakan masker dan meminimalkan jumlah peserta yang hadir agar tidak terjadi klaster baru penyebaran Covid-19. “Kalau bisa diurungkan ya diurungkan, namun namanya penyampaian pendapat nanti kalau tidak boleh (dari pihak aparat jadi) salah lagi. Maka kami mengarahkan dari korlap (koor lapangan) untuk minimalkan yang hadir. Bukan berarti (kami) mengekang, enggak. Cuma karena situasi lagi pandemi,” sambung Kompol Sukarda.
Aksi ini juga merupakan aksi lanjutan dari yang sebelumnya. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan akan adanya gerakan unjuk rasa kembali sebelum tuntutan aksi dipenuhi. “Kami akan terus berfokus pada kajian kami, dan kami pastikan ini bukan aksi yang terakhir,” tandas Kliwon. Harapan Kliwon untuk masyarakat Indonesia khususnya Surakarta adalah agar tumbuh kesadaran kolektif masyarakat bahwa sekarang pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan oligarki pada dasarnya telah bersepakat untuk bersekongkol jahat saat menetapkan Omnibus Law yang menurutnya sangat merugikan dari masyarakat sipil itu sendiri. (Ghirindra Chandra/Samuel Bintang)
