Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia. Dijelaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini bertujuan agar berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Apabila kita simpulkan, maka tujuan dari pendidikan kita adalah terkait pembentukan moral dan budi pekerti yang luhur. Proses pembentukan karakter tersebut diharapkan dapat dilakukan dalam lingkungan pendidikan dimana di dalamnya terdapat tenaga pendidik sebagai fasilitator dan sistem pendidikan sebagai bahan pembentuknya. Dari tujuan tersebut, tenaga pendidik idealnya terdiri dari orang-orang yang terdidik, dalam arti sederhana yaitu tahu dan paham apa yang harus dan tidak seharusnya dilakukan. Namun, jika kita membuka mata dan melihat fenomena yang terjadi, faktanya ada banyak tindakan amoral yang dilakukan tenaga pendidik saat ini.
Dikutip dari komnasperempuan.go.id, pada tanggal 27 Oktober 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengeluarkan laporan lembar fakta kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pada periode tahun 2015 sampai 2020. Hasilnya adalah 3% kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan TK dan SD, 7% di tingkat SMP, 15% di SMA dan SMK, 19% pada pendidikan berbasis agama Islam yaitu di pesantren, dan di urutan pertama yaitu tingkat perguruan tinggi dengan menyumbangkan 27% kasus kekerasan seksual. Selain itu, bentuk kekerasan yang tertinggi yaitu kekerasan seksual sebanyak 45 kasus atau 88%, yang terdiri dari perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual.
Tentunya hal ini tidak hanya dilihat sebagai jumlah angka dan presentase semata, namun hal ini menjadi sebuah pelecehan bagi institusi pendidikan kita. Bagaimana bisa tempat yang seharunya menjadi lingkungan sehat dan tempat aman untuk belajar, justru tidak bisa memberikan kenyamanan dan keamanan untuk bisa mendapatkan pendidikan secara kondusif. Mirisnya, sebagian besar aksi kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh tenaga pendidik mulai dari guru, kepala sekolah, dan dosen.
Apabila melihat kasus kekerasan seksual di tingkat universitas secara terpisah, maka dapat dilihat dari data yang berhasil dihimpun oleh kolaborasi #NamaBaikKampus yang dilakukan Tirto, VICE Indonesia, dan The Jakarta Post. Dilansir dari tirto.id, kolaborasi ini berhasil mengumpulkan testimoni kasus kekerasan seksual dari 174 penyintas, yang berasal dari 79 kampus dan tersebar dalam 29 kota. Kekerasan yang mereka alami tidak hanya sekali saja. Setiap 1 dari 2 korban tersebut mengalami kekerasaan seksual lebih dari satu kali. Terkadang korban tidak berani untuk melapor, merasa malu atas apa yang telah terjadi, dan tidak tahu harus bertindak apa.
Dilansir dari nasional.tempo.co, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Rumusan ini mengatur dari mulai pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi, pemulihan korban, satuan tugas, mekanisme penanganan, sampai hak korban dan saksi dalam kasus kekerasan seksual.
Hal ini menjadi satu langkah baik untuk mulai menyikapi dan memperhatikan dengan serius terkait kasus kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di institusi pendidikan termasuk perguruan tinggi. Meskipun kehadiran peraturan ini masih menuai kontroversi dan pro kontra di masyarakat, namun perlu diingat bahwa saat ini kita berada pada kondisi lingkungan pendidikan yang tercemar dengan maraknya kasus kekerasan seksual dan bersembunyinya predator seksual pada institusi pendidikan.
Jika melihat kondisi ini maka kita harus segera bertindak supaya tidak ada lagi pelajar maupun mahasiswa di Indonesia takut untuk belajar di lembaga pendidikan. Selain itu, agar tidak ada lagi yang harus berhenti dan tidak mau melanjutkan pendidikan karena telah menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Kita harus mengkondisikan lingkungan pendidikan Indonesia tetap pada koridornya untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional.
Penulis: Ragil Meiliana
