Oleh : Jenifer Sevilla
Akhir pekan ini Andrea memiliki kesempatan untuk pulang ke rumah. Agenda perkuliahan yang padat membuatnya tidak bisa mengunjungi rumah dalam beberapa bulan terakhir sehingga saat menemukan ada akhir pekan yang kosong dari kegiatan dan tugas kuliah yang beruntutan dengan hari libur nasional dengan segera ia memesan tiket kereta ke rumahnya. Semburat senja kemerahan telah nampak saat Andrea menapakkan kaki ke kota kelahirannya, ia bersenandung di belakang kakaknya mengendarai motor menikmati suasana dingin dan bau tanah seusai hujan. Kakaknya membawa motor dengan kecepatan yang stabil hingga kemudian lambat laun melambat. Mata Andrea menyipit saat menemukan jalur panjang motor dan mobil yang mengantri.
“Kenapa macet, kak?” tanyanya heran, meskipun jalan yang ia lalui merupakan jalan utama namun ia jarang menemui kemacetan selama ini.
“Jalannya rusak. Lihat tuh, genangan airnya tinggi memenuhi jalan. Ditambah bertepatan jam pulang kerja.” Gerutu kakaknya. Andrea mengernyit, “Rusak lagi? Bukannya terakhir kali baru aja diperbaiki, ya?” tanyanya sambil mengingat tiga bulan yang lalu saat ia mengunjungi keluarganya terakhir kali bertepatan dengan perbaikan jalan di ruas tersebut. Selintas, mata Andrea melirik palang lalu lintas di pinggir jalan yang menunjukkan larangan bagi truk dan bus untuk melewati jalan tersebut. Hal itu semakkin menambah keheranannya.
Kakaknya mengangkat bahu, “Anggaran banyak tapi kualitasnya jelek. Asal jadi aja. Desas desusnya sih ada anggaran yang menyimpang.”
“Jalan infrastruktur penting masa asal jadi aja. Kalau perbaikan jalan lagi ngeluarin anggaran lagi, dong. Apa ngga dilaporin, kak?”
Kakaknya menoleh ke arahnya sekilas, “Ah buat apa? Cuma oknum.”
Mendengar jawaban kakaknya, Andrea hanya mendesis dan memukul bahunya pelan.
