Oleh: Jelita Kristi Agape

Negara Indonesia sudah lama merdeka, namun ternyata masih ada hal-hal yang tertinggal dan membuat torehan luka di tengah bangsa ini. Barangkali para pemangku kepentingan tidak sadar atau bahkan tidak menyadarkan diri bahwa masih banyak hak-hak perempuan yang belum mendapat perhatian dan belum mendapat kesamaan perlakuan di hadapan hukum positif negeri ini. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 Ayat (1) sudah diatur bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Namun, hal ini belum terimplementasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari kita.
Kita sebagai warga negara, tentunya sudah sering melihat dan membaca di media massa terkait kasus kekerasan terhadap perempuan yang kalau dihitung sudah tidak terbilang lagi jumlahnya. Namun, pada realitanya hal tersebut hanya dijadikan kliping koran atau sekedar arsip yang memenuhi laci meja para pejabat yang katanya peduli terhadap nasib perempuan.
Sebenarnya, di Indonesia sudah ada sebuah lembaga independen yang bergerak dalam hal ini yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sudah banyak pula aspirasi dari berbagai pihak yang masih punya hati untuk memperjuangkan nasib perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam upaya mencari keadilan dan persamaan hak di mata hukum, namun upaya ini selalu kandas di tengah jalan.
Bahkan visi mulia Komnas Perempuan yang berbunyi, “Pundi perempuan adalah terwujudnya solidaritas dan kedermawanan publik serta pelaksanaan tanggung jawab negara yang berpihak, memberdayakan dan berkelanjutan untuk perempuan korban kekerasan dan diskriminasi” pun terkesan masih berada jauh di atas angan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini digunakan sebagai acuan dasar dalam pemidanaan hukum Indonesia pun tidak mengenal istilah pelecehan seksual. Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP hanya menyebutnya dengan istilah perbuatan cabul. Regulasi yang ada saat ini masih terasa kurang jelas dan tidak menyentuh akar permasalahan yang sedang dihadapi oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan. Hal ini meliputi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual akibat perkosaan, kekerasan terhadap anak-anak perempuan yang masih di bawah umur, hingga perlakuan tidak adil terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK).
Sering kali, PSK ditangkap oleh pihak berwajib. Setelah itu, biasanya mereka akan diadili, diberi sanksi hukum, dikenakan denda, bahkan dipertontonkan di muka umum. Sedangkan, para lelaki hidung belang yang menggunakan jasa PSK justru dibiarkan begitu saja. Hal ini tentunya tidak berhasil untuk menekan jumlah PSK, eksistensi profesi ini malah semakin tinggi. Belum lagi adanya perdagangan wanita, perdagangan anak-anak perempuan di bawah umur, dan lain-lain.
Kita dapat melihat bahwa mayoritas pemangku kebijakan dalam pemerintahan yang membidangi persoalan hukum, sosial, dan keyakinan agama, sepertinya bersikap masa bodoh. Setiap ada upaya dan perjuangan untuk menempatkan perempuan agar memiliki persamaan hak di mata hukum dalam seluruh aspeknya, selalu digagalkan dan dikandaskan di tengah jalan. Kenyataan lapangan tersebut menimbulkan kecurigaan, sebenarnya apa yang melatarbelakangi atau menjadi sumber masalah krusial yang sesungguhnya.
Ternyata, ada sebuah paham yang menjadi kerikil tajam atau batu sandungan dalam permasalahan perjuangan kesetaraan hak-hak perempuan. Paham yang menjadi kendala dalam hal ini yaitu adanya budaya patriarki yang dianut dalam keyakinan agama atau kepercayaan di tengah mayoritas masyarakat kita. Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Keyakinan dalam suatu agama atau kepercayaan sering kali dijadikan falsafah hidup di tengah masyarakat kita saat ini. Hal ini yang sering menyebabkan pandangan bahwa derajat wanita lebih rendah dari laki-laki merasuk ke dalam hati dan pikiran masyarakat pada umumnya, bahkan sudah mendarah daging. Wakil rakyat yang punya kuasa untuk membuat undang-undang dan peraturan di negeri ini, yang seharusnya berbuat adil terhadap hak-hak perempuan, mereka juga justru sudah terkontaminasi dengan paham tersebut.
Pilar ideologi dalam tatanan hukum Negara Republik Indonesia sebenarnya sudah cukup dijadikan acuan kuat dalam menangani kasus kekerasan seksual. Hanya saja, tergantung dari dan sejauh mana kita menafsirkannya. Kita bisa mengaitkan kedua sila Pancasila, yakni sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kedua sila tersebut menjadi landasan bahwa Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan itu sama derajatnya. Tidaklah mungkin Tuhan Yang Maha Esa membeda-bedakan jenis kelamin manusia hanya untuk meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain.
Maka, agar perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki di mata hukum, yang pertama harus dilakukan adalah mereformasi hati serta pikiran masyarakat dan para pemimpin pemerintahan yang masih menggunakan pola pikir konservatif dan berpegang erat pada budaya patriarki. Patriarki sudah menjadi cara berpikir yang kolot dan ketinggalan zaman. Paham atau budaya patriarki ini harus ditanggalkan dan ditinggalkan.
Kita seharusnya mengikuti kehendak Tuhan yang menciptakan manusia sama di hadapan-Nya. Bukan Tuhan yang harus mengikuti kehendak manusia, karena kehendak kita belum tentu seperti yang dikehendaki Tuhan. Jangan sampai hak-hak perempuan dan derajat wanita terus menerus direndahkan bahkan menjadi bulan-bulanan kekal oleh laki-laki, hal tersebut harus segera diakhiri dengan akal sehat yang kita miliki.
